Aku memandangi air muka adikku. Telah mengenalnya sejak ia lahir ke bumi ini, mudah sekali kubaca isi pikirannya. Ia ingin pergi dari sini-- dari aku, ibuku, dan situasi sulit yang datang dengan keberadaan kami. Entah sejak kapan status kami berubah dari 'kekuatan' menjadi 'beban' baginya.
Itu tidak apa. Ingin pergi memutus hubungan dari orang yang menyulitkanmu adalah sebuah hal yang manusiawi. Aku memahaminya. Yang aku tidak mengerti, kenapa ia tidak bisa membaca sendiri apa yang sesungguhnya diinginkannya. Yang aku tidak mengerti, kenapa ia uring-uringan seolah-olah ia satu-satunya orang yang tidak bisa membaca isi hati terdalamnya.
Aku paham: adikku hanya ingin bahagia. Ia hanya ingin hidup bergelimang harta dan jauh dari kewajiban mengurusi hidupku dan ibukku. Menurutku itu sesuatu yang wajar-- mengingat seberapa sulit hari-hari yang harus dijalaninya di samping kami.
Meski begitu, aku berharap semoga adikku memahami kesedihanku. Membayangkan seorang adik yang berbagi gen denganku akan pergi jauh-- hidup dan bertumbuh -- ke suatu tempat yang mungkin akan membuat jalan kami (dan keturunan kami) tidak pernah bersilangan lagi.
"Aku pergi dulu, kak," katanya dari depan pintu kamar yang tertutup.
"Oke! Jangan lupa bawa bekal yang sudah kusediakan buatmu," jawabku lirih.